Lhokseumawe - Program Studi Magister Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Malikussaleh (Unimal) hadirkan Dr Mohammad Ayub Mirdad dalam acara kuliah tamu yang bertema “Konflik dan Perubahan Sosial Budaya: Pengalaman Dari Afganistan” via Zoom Meeting, Sabtu (03/06/2023).
Kuliah itu dibuka oleh Dekan Fisipol Dr Muhammad Nazaruddin. Dalam sambutannya, Ia menyampaikan bahwa tema yang diusung dalam kuliah kali ini adalah konflik dan perubahan sosial yang diinisiasi oleh Dr Ibrahim Chalid selaku dosen pengampu mata kuliah perubahan sosial di Prodi Magister Sosiologi Unimal.
“Afghanistan merupakan salah satu negara yang terlibat konflik secara internasional. Konflik yang terjadi juga akan menghadirkan perubahan di tengah masyarakat sebagai dampaknya,” terang Nazaruddin.
Lanjut Nazaruddin, migrasi yang terjadi juga sangat terlihat dan migrasi itu disebabkan oleh konflik di Afganistan. “Kuliah hari ini akan memberikan wawasan bagi kita semua tentang konflik dan perubahan sosial yang terjadi di Afghanistan yang disampaikan oleh Dr Mohammad Ayub,” lanjutnya.
Dosen pengampu mata kuliah perubahan sosial, Dr Ibrahim Chalid yang juga menjadi moderator pada kuliah ini memantik jalannya kuliah dengan menggambarkan kondisi umum kondisi yang ada di Afghanistan.
“Narasumber kali ini adalah dosen di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga dan juga warga Afghanistan yang menjadi dosen di Indonesia. Ia memberikan pengalaman mengenai konflik dan perubahan sosial yang terjadi di Afganistan,” terang Ibrahim.
Ibrahim juga menyampaikan bahwa masyarakat Aceh juga pernah merasakan konflik seperti di Afghanistan. “Banyak pemberitaan nasional dan internasional menyorot kondisi konflik di Afganistan, sehingga menggambarkan Afghanistan sebagai wilayah konflik berskala global,” ucapnya.
Dr Mohammad Ayub Mirdad dalam materinya menyampaikan portrait konflik di Afghanistan, mulai dari sejarah, dampak, sampai ke perubahan sosial.
“Afghanistan merupakan negara kecil, populasinya kecil sekitar 40 juta, suku juga kecil sekitar 22 suku, dan mayoritas 99% adalah Muslim, hanya ada sedikit orang Hindu/Yahudi,” terang Ayub.
Ia juga menjelaskan bahwa konflik di Afghanistan bukan hal yang baru namun sudah terjadi sejak lama. “Konflik yang terjadi di era 90 itu disebabkan karena tidak adanya konsensus dari partai-partai politik,” kata Ayub.
Lanjut Ayub, struktur sosial dan budaya politik di Afghanistan berbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dari satu kebangsaan ke kebangsaan lainnya, baik mencakup etnis, agama, dan bahasa yang heterogen. Afghanistan adalah negara minoritas karena tidak ada kelompok etnis yang lebih dari sepertiga dari populasi.
“Mengutip dari pendapat Barfield bahwa kelompok etnis di Afghanistan datang dalam dua rasa: suku dan non-suku.Orang Tajik adalah kebangsaan non-suku terbesar di Afghanistan, yang merupakan sepertiga dari populasi yang ada di perkotaan dari hampir semua provinsi.
“Ada beberapa suku yang ada di Afghanistan seperti suku Uzbek, Turkmen, Hazara, Balouch, Pashtun, dan Aimaq, dan beberapa suku lainnya,” ucap Ayub.
Ia juga menjelaskan bahwa suku Hazara yang sebagian besar berkurang karena pembunuhan massal oleh Raja Abdurrahman antara tahun 1880 dan 1901. “Ketika menjadi Syiah, Hazara menghadapi diskriminasi besar sejak masa Abdurrahman hingga akhir republik pertama pada tahun 1978,” pungkas Ayub.
Selanjutnya ia menjelaskan dampak dan perubahan sosial yang terjadi di Afghanistan, seperti perubahan sosial budaya, populasi dan infrastruktur. [Unimalnews]